Pemerintah Provinsi DKI Jakarta diminta segera membenahi tata kelola jaringan utilitas setelah seorang mahasiswa bernama Sultan Rifat Alfatih mengalami kecelakaan akibat terjerat kabel fiber optik di kawasan Jakarta Selatan pada Januari 2023 lalu.
Pakar tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Yoga, mengatakan peristiwa ini menggambarkan bagaiman semrawutnya jaringan utilitas di ibu kota telah “mengancam keselamatan warga”. Apalagi, ini bukan kasus pertama yang memicu korban.
Pemerintah, perusahaan pemilik kabel fiber optik, hingga kontraktor lapangan diminta bertanggung jawab karena diduga “telah lalai”.
Namun PT Bali Towerindo Sentra Tbk, selaku perusahaan pemilik kabel fiber optik, membantah tuduhan kelalaian tersebut.
Kecelakaan itu terjadi ketika Sultan mengendarai sepeda motor melintasi Jalan Pangeran Antasari pada 5 Januari 2023 sekitar pukul 22.00.
Mobil SUV di depannya melintasi kabel optik yang menjuntai ke jalan. Namun karena ada bagian kabel yang terseret mobil, kabel itu berbalik ke arah belakang dan menjerat leher Sultan.
Tulang muda di tenggorokan Sultan putus sehingga merusak saluran makan dan pernapasannya. Tujuh bulan berselang, tenggorokannya belum juga pulih dan belum bisa bicara.
Sultan hanya bisa makan dan minum melalui selang NGT silikon yang dimasukkan melalui hidungnya. Makanan yang dia konsumsi juga harus dicairkan dengan kekentalan paling tidak 10%.
Akibatnya, berat badan Sultan turun dari 67 kg menjadi 47 kg sejak mengalami kecelakaan tersebut.
“…menelan air ludah pun saya tidak bisa lakukan, sehingga setiap dua menit sekali saya harus mengeluarkan air liur saya dan setiap kali saya ingin tidur, saya harus menyedot air liur beserta lendir yang masuk ke saluran pernapasan saya dengan menggunakan mesin sedot,” tulis Sultan melalui surat yang dia kirimkan kepada Presiden Joko Widodo serta Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD.
Pada Kamis (3/8), Sultan pun dibawa ke Rumah Sakit Polri Kramat Jati untuk dirawat secara khusus.
Hak-hak korban
Sudaryatmo dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengatakan korban dalam kasus seperti ini berhak mendapat ganti rugi berupa biaya perawatan dan pemulihan hak dari pemerintah maupun perusahaan pemilik kabel fiber optik.
“Karena akibat serat kabel optik yang mencelakakan seseorang kemudian dia harus dirawat, itu paling tidak ya ditanggung biaya pengobatannya. Bahkan kalau korban sudah bekerja, harus mengganti pendapatan yang hilang selama perawatan,” jelas Sudaryatmo ketika dihubungi.
Korban, menurutnya, juga bisa menuntut pemulihan atas trauma yang dialami akibat peristiwa tersebut.
Selain itu, YLKI juga menilai kasus ini berpotensi diusut secara pidana atas kelalaian yang telah menyebabkan seseorang cedera.
“Di KUHP bisa dicek ada pasal bahwa pemilik kabel itu bisa dikenakan pasal karena kelalaiannya. Lalai dalam hal apa? Lalai dalam hal asetnya tadi, kabelnya tadi mencelakakan orang lain,” ujar Sudaryatmo.
Secara terpisah, Nirwono Yoga mengatakan kelalaian itu dapat dibuktikan melalui catatan pemeriksaan rutin oleh perusahaan serta pengawasan oleh Dinas Bina Marga.
Apabila perusahaan pemilik dan kontraktor pelaksana terbukti lalai, Pemprov DKI semestinya bisa memberi sanksi tegas hingga mencabut izin perusahaan.
“Perusahaan dan kontraktor tidak bisa lepas tangan begitu saja. Kalau ini berlarut-larut justru nanti mengorbankan hak korban. Ini soal waktu karena berkaitan dengan kesembuhan korban. Kalau tidak, Pemprov DKI atas dasar kemanusiaan harus menggunakan kewenangannya untuk menindak,” papar Nirwono.
Bali Tower bantah tuduhan lalai
Di sisi lain, Kuasa hukum PT Bali Towerindo, Maqdir Ismail membantah ada kelalaian perusahaan dalam pengelolaan kabel serat optik tersebut.
“Musibah terjerat kabel serat optik di Jalan Antasari, Jakarta Selatan itu merupakan kecelakaan murni. Bukan akibat kelalaian perusahaan,” kata Maqdir dalam konferensi pers di Jakarta pada Kamis (3/8).
Perusahaan mengklaim telah menelusuri kecelakaan, namun tidak ditemukan bukti bahwa kabel menjuntai ke badan jalan.
Menurut Maqdir, laporan hasil pemeliharaan berkala pada 7 dan 26 Desember 2023, ketinggian tiang dan kabel berada dalam kondisi normal.
Perusahaan justru menduga ada kendaraan besar dengan tinggi di atas 5,5 meter melintas dan tersangkut pada kabel, sehingga tiang melengkung dan kabel melandai.
Tetapi perusahaan mengaku belum mengetahui identitas kendaraan yang dimaksud, serta belum mengantongi bukti foto maupun video terkait dugaan itu.
Perusahaan mengklaim telah beberapa kali menemui keluarga untuk menyelesaikan persoalan ini.
“Sejauh ini, sudah lebih dari empat kali pertemuan dan rangkaian komunikasi tersebut, dan sudah menawarkan bantuan kemanusiaan sebagai bentuk empati dan keprihatinan Bali Tower atas musibah yang dialami oleh Sultan,” tutur Maqdir.
Tetapi ayah Sultan, Fatih, mengatakan kepada BBC News Indonesia bahwa upaya perusahaan untuk menemui keluarganya dia sebut sebagai “gimmick” belaka.
“Yang saya harapkan realistis saja. Data dan fakta, ayo duduk bareng. Data adalah, anak saya sebelum kecelakaan, anak saya pas kecelakaan, anak saya ketika dirawat di rumah sakit saat masa kritis sampai saat ini dibuktikan dengan record medis adalah data,” kata Fatih.
“Fakta adalah anak saya belum bisa makan dan minum dan seterusnya. Baru ngomongin pengobatan, bagaimana ke depannya, baru ngomongin kompensasi. Jadi fair, tidak ada yang menzolimi dan dizolimi,” sambungnya.
Keluarga Sultan juga menolak tawaran uang senilai Rp2 miliar dari perusahaan.
Bukan kasus pertama, ‘tak ada jaminan keselamatan’
Sultan bukan satu-satunya korban yang jatuh akibat semrawutnya tata kelola utilitas di Jakarta.
Pada 28 Juli 2023, seorang pengendara motor jatuh dan terluka di kepala akibat terkena kabel Telkom yang melintang di kawasan Palmerah, Jakarta Barat.
Pada 2015, dua orang petugas Transjakarta bernama Niko Adeli dan Siti Nurhayati tewas di tempat akibat tersengat listrik, ketika melewati genangan air di dekat tiang listrik di sekitar halte.
Setelah ditelusuri, instalasi kabel yang berada di dalam tanah ternyata terkelupas.
Sejak kasus itu terjadi, Nirwono mengatakan tidak ada evaluasi serius dari pemerintah untuk mencegah peristiwa serupa.
“Banyak pekerjaan utilitas yang selama ini menimbulkan korban, tapi selama ini tidak viral sehingga lepas dari fokus masyarakat,” tuturnya.
Padahal, menurut Nirwono, kesemrawutan kabel-kabel utilitas itu jelas tampak di depan mata, bergelantungan di jalanan.
“Artinya, seluruh warga DKI yang beraktivitas di ruang publik tidak ada jaminan keamanan keselamatannya. Kita tidak pernah tahu siapa dan di mana orang bisa menjadi korban. Masa pemerintah tidak mau mencegah? Masa kita harus menunggu dulu kejadian korban berikutnya baru dilakukan tindakan,” kata Nirwono.
Kabel utilitas harus dipindah ke bawah tanah
Menurut Nirwono dan Sudaryatmo, kasus ini harus ditindaklanjuti dengan memindahkan seluruh kabel utilitas ke bawah tanah.
Selama ini, penataan jaringan utilitas di bawah tanah baru dilaksanakan di kawasan-kawasan tertentu seperti Mega Kuningan atau SCBD. Sedangkan di mayoritas wilayah Jakarta, termasuk di jalan dan kawasan pemukiman, kabel-kabel masih menjuntai.
Tetapi untuk mempermudah penataan itu, Pemprov DKI dan DPRD perlu segera mengesahkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Sarana Utilitas Terpadu.
Selama ini, Nirwono menilai peraturan yang ada belum cukup kuat untuk memaksa para penyedia jasa utilitas untuk memindahkan aset-asetnya ke bawah tanah agar lebih aman.
“Peraturan yang ada sejauh ini sifatnya hanya pedoman. Tidak memaksa apalagi memberi sanksi tegas seperti pemotongan kabel, juga pertanggung jawaban perusahaan kalau ada kecelakaan,” kata Nirwono.
Berdasarkan rencana induk yang diusulkan, Jakarta ditargetkan tidak lagi memiliki kabel-kabel yang menjuntai di atas pada 2030.
Nirwono berharap kasus yang menimpa Sultan menjadi kasus terakhir yang memakan korban akibat kesemrawutan jaringan utilitas di Jakarta.
“Kita enggak bisa nawar lagi. Bisa dikatakan seluruh warga Jakarta sebetulnya terancam oleh kondisi jaringan utilitas yang semrawut. Harusnya pemerintah berani membenahi secara besar-besaran dan menindak tegas kalau ada kelalaian seperti ini lagi. Jangan sampai ada Sultan-Sultan lainnya,” ujarnya.