Angkatan Udara Amerika Serikat mulai menerapkan kecerdasan buatan untuk penerbangan taktis lewat pesawat tempur tanpa awak XQ-58A Valkyrie. Pesawat tempur ini dirancang untuk mendampingi pilot dalam pertempuran dan membantu dalam menyusun strategi penyerangan.
XQ-58A Valkyrie merupakan pesawat tempur taktis tanpa awak hasil kolaborasi Kratos Defense & Security Solutions, Inc. dan US Air Force Research Laboratory (AFRL). Pesawat ini berbobot 6000 pon, mampu menjelajah dalam kecepatan 550 mph, dan terbang mencapai ketinggian 45.000 kaki.
Desain pesawat ini dirancang untuk menguasai pergerakan stealth mode, untuk membawa rudal dan menghantam target yang berada jauh di luar jangkauan visualnya.
Namun tentu saja, elemen paling menonjol dari Valkyrie adalah bagaimana pesawat ini dijalankan oleh kecerdasan buatan. Misi utama dari Valkyrie adalah menggabungkan kemampuan kecerdasan buatan dengan sensor pesawat dalam mengidentifikasi ancaman musuh, yang kemudian setelah mendapat persetujuan di bawah kendali manusia, barulah bisa meluncurkan serangan.
Uji coba terhadap Valkyrie baru-baru ini dilakukan di Pangkalan Angkatan Udara Eglin, Florida. Nantinya, di penghujung tahun, akan ada uji coba lain di Teluk Meksiko. Uji coba tersebut akan melihat bagaimana Valkyrie menyusun strategi sendiri dalam mengejar dan menyerang target.
Di Eglin, mengutip New York Times, salah satu uji coba dijalankan oleh Major Ross Elder. Uji coba tersebut dilakukan dengan menerbangkan F-15 bersama Valkyrie sebagai pendamping atau wingman. Major Elder mengatakan, ini sebuah perasaan yang aneh, di mana ia terbang bersama sesuatu yang bisa mencetuskan keputusannya sendiri, tapi tidak dengan otak manusia.
Saat ini, Amerika Serikat sedang berkompetisi dengan Cina dalam mengembangkan superioritas teknologi untuk keamanan nasional. Mereka mulai mempertimbangkan untung-rugi, mengenai besar modal yang digunakan untuk mengembangkan pesawat tempur.
Oleh karena itulah, program yang sedang berjalan saat ini disebut-sebut sebagai program yang terjangkau, di mana Angkatan Udara AS berencana untuk membangun 1000 hingga 2000 pesawat tempur tanpa awak dengan kecerdasan buatan generasi baru. Biaya yang keluar hanya sekitar 3 juta Dollar AS per unit.
Unit-unit ini nantinya akan dibagi ke beberapa jenis tugas. Ada yang ditugaskan untuk fokus pada misi pengawasan dan pemasokkan ulang, diterbangkan dalam kawanan serangan, serta ada pula yang akan ditugaskan sebagai pendamping setia para pilot manusia. Dalam menjadi pendamping atau wingman, para pesawat tanpa awak ini akan bertugas untuk melakukan pengawasan awal, melumpuhkan pertahanan udara musuh, hingga melumpuhkan target rudal. Kecerdasan buatan yang diterapkan akan mengevaluasi informasi dari sensor ketika mendeteksi ancaman musuh, sebelum kemudian melaporkannya lebih dulu pada pilot manusia, sebelum dipersilakan meluncurkan serangan dengan misil.
Pemanfaatan kecerdasan buatan ini menjadi sebuah terobosan besar. Namun secara bersamaan, ada kekhawatiran yang muncul mengenai seberapa besar teknologi memegang otonomi dalam sebuah senjata mematikan. Pernyataan ini terutama dianggap sangat berbahaya bagi Amerika Serikat, mengingat mereka memiliki serangkaian rekam jejak dalam melancarkan serangan tak disengaja yang memakan korban oleh pesawat tak berawak konvensional.
Pentagon pun pada awal tahun ini menerbitkan revisi kebijakan mengenai penggunaan kecerdasan buatan dalam persenjataan. Di dalamnya disebutkan, penggunaan senjata mematikan secara otonom diperbolehkan. Akan tetapi, perencanaan untuk pembuatan dan peluncurannya harus didahului oleh review dan persetujuan dari lembaga khusus militer. Pihak Pentagon menambahkan, pengendalian pesawat tempur tanpa awak otonom harus didesain untuk mampu mematuhi perintah manusia.
Angkatan Udara AS mengatakan mereka sepenuhnya menyadari bagaimana teknologi kecerdasan buatan tidak melingkupi kecerdasan sebagaimana manusia. Mesin-mesin ini tidak memiliki kompas moral.
Kolonel Tucker Hamilton, selaku kepala operasi AI Test dari pihak Angkatan Udara AS mengatakan bagaimana misi ini akan membuktikan sistem keselamatan pada penerbangan pesawat tanpa awak dengan teknologi AI, serta memecahkan masalah taktis selama beroperasi di udara. Namun demikian, ia juga menyebutkan bahwa misi ini adalah sebuah “tanggung jawab menakjubkan”, yang mana harus dicapai secara metodis dan etis, dalam langkah-langkah kecil. Di masa mendatang, hasil pengembangan dari misi ini akan diterapkan pada program pesawat tempur otonom berikutnya dan seterusnya.